specialpreneur.com – Ketika tanpa sengaja ia bermain ke sebuah sekolah luar biasa, ia mendengar pembacaan puisi dari salah satu siswa. Siswa tersebut menceritakan keterbatasan mereka, yang benar-benar membatasi mereka pada banyak hal, namun tetap membuat mereka bangga. Bahkan, mereka masih tetap bermimpi untuk menjadi seorang yang hebat dan berguna di masyarakat.
Puisi tersebut menggugah perasaan Siti Maidina Herdiyanti, atau yang akrab dipanggil Dina. Melihat kemampuan murid-murid tersebut, Dina kemudian menanyakan lebih lanjut kepada kepala sekolah tersebut. Sayang, kepala sekolah tersebut bahwa kebanyakan karya murid-murid di sana tidak bisa tersalurkan lebih lanjut. Sebagian besar murid bahkan harus menghadapi kenyataan untuk diam di rumah dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan apapun.
Kesempatan ini membuka hati Dina untuk berjuang lebih lanjut bagi para penyandang disabilitas. Bersama dua rekannya, Fachmi Rizal Chaniago (Fachmi) dan Gigih Dwi Prasetyo (Agit), ia membangun Specialpreneur, sebuah usaha sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan penyandang disabilitas. Lewat Specialpreneur, mereka berharap bisa memberikan lapangan kerja lebih bagi penyandang disabilitas agar tetap bisa berkarya dan menyalurkan kreativitas.
Selain berniat memberdayakan penyandang disabilitas, Dina, Fachmi, dan Agit melihat kearifan lokal Jambi yang belum banyak dikenal. Karenanya, mereka juga berniat menggunakan permasalahan ini sebagai salah satu tujuan mengembangkan Specialpreneur. Apalagi, disampaikan Dina, Agit andal dalam membuat crafting.
“Dari situ akhirnya kita pilih untuk angkat isu limbah batok kelapa yang emang banyak banget jadi sampah di lingkungan kita, dan itu kita craft jadi barang-barang berguna lainnya, seperti tas, kalung, lampu tidur, dan lainnya,” tutur Dina.
Selama dua tahun membangun Specialpreneur, pastinya ada sejumlah usaha yang tidak main-main dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
“Awalnya kita ngerintis Spesialpreneur itu kita awalnya mitra dulu dengan SLB dan dari situ kita udah langsung mutusin untuk ngangkat kearifan lokal. Kita kasih pelatihan menjahit untuk teman-teman di SLB. Jadi mereka dari SMP sampai SMA, siswa yang tuna daksa dan tuna rungu yang bisa menjahit, saya minta diajari jahit dengan profesional. Kita support mesin-mesin, kita datangin mentor dan didampingin guru-guru. Nah proses itu cukup lama, karena memang yang saya lihat juga dari motivasi temen-temen juga jadi tantangan dan proses,” jelas Dina lagi.
Hal serupa juga disampaikan Agit, bahwa butuh perhatian dan kesabaran ekstra untuk membangun mood mereka. Sebab, kalau tidak sesuai mood dan enggak bisa menaikkan mood, mereka tidak mau mengerjakan yang diminta.
“Pas disuruh ini itu, dia tidur. Jadi di situ melatih emosi harus gimana, untuk tetap sabar menghadapi mereka. Kita harus mikir gimana caranya membuat mereka harus bisa dengan cara yang pelan, tapi juga gimana biar sampe pesannya tuh sampe ke dia,” jelas Agit.
Selain itu, Dina cs juga mengaku kesulitan dalam membangun Specialpreneur, karena tidak memiliki latar belakang pebisnis atau entrepreneur. Sebagai orang baru di dunia usaha sosial, Dina cs akhirnya memilih untuk sering-sering mengikuti pelatihan yang dibuat untuk pelaku usaha sosial, salah satunya adalah Young Changemakers Social Enterprise (YCSE) Academy.
Melalui program-program semacam ini, tutur Dina, ia lebih bisa mengatur prioritasnya dalam mengembangkan Specialpreneur, misalnya dengan fokus pada produk-produk yang ada. Selain itu, ia juga mendapatkan lebih banyak motivasi untuk terus konsisten dengan Specialpreneur, dan ide-ide baru yang bisa direalisasikan.
Lebih lanjutnya, Dina menjadi semakin yakin bahwa usaha sosial itu bukan hanya sekadar proyek untuk membantu orang lain, tapi juga membangun manusia dan berkontribusi lebih baik bagi diri sendiri dan orang lain.
“Ada banyak orang yang sukses di usaha sosial. Buat anak muda yang mau atau punya mimpi untuk bantu orang, jangan khawatir. Ini peluang karir yang bukan cuma soal diri sendiri. Dan yang namanya social impact itu juga semakin meluas ketika kita juga mau membangun bisnis kita,” tutur Dina.
Selain Dina, program semacam ini juga nyatanya membuka pandangan lebih bagi Fachmi.
Kalau disimpulkan, pandanganku berubah banget untuk bisa lebih kontribusi secara aktif untuk mengatasi permasalahan yang ada di sekitar. Perubahannya sangat mendalam dan personal sih. Tapi jadi lebih semangat untuk bergerak dan lebih giat aja untuk ngerjain apa yang sudah dimulai,” tutup Fachmi.
laporan tulisan: Cindy Clara (kumparan.com)
Tinggalkan Komentar